Memahami Sosok Tragic Hero
(Disalin rekat dari Facebook Post 28 Mei 2016.)
Masih tentang kecenderungan pop-lit belakangan ini, terutama dalam film-film yang sukses mencetak pemasukan luar biasa di seluruh dunia... adakah yang memperhatikan pergeseran tema di dalamnya?
Tidak seperti zaman tahun 1970-1990-an, sekarang kita tidak terlalu mampu membedakan antara hitam dan putih, baik dan jahat, benar dan salah. Tokoh protagonis tidak sepenuhnya baik, dan tokoh antagonis tidak sepenuhnya jahat. Plot cerita pun tidak lagi klise.
Alih-alih menampilkan sosok villain (penjahat) dalam cerita, penulis (novel/naskah) sekarang lebih memilih menampilkan citra tragic hero dalam diri antagonisnya.
Seorang tragic hero adalah sosok yang awalnya baik, bahkan hebat dan mengagumkan, namun eksistensinya dalam perputaran kehidupan ini mendatangkan ketidakseimbangan semesta. Dan sudah merupakan hukum alam bahwa jika terjadi suatu ketidakseimbangan, maka Nemesis akan berlaku (mungkin kita lebih mudah memahaminya melalui konsep 'karma') untuk menghapuskan penyebab ketidakseimbangan tersebut (yaitu sang tragic hero) agar keseimbangan semesta kembali tercapai.
Agak sulit, ya, memahami penjelasan Mbah Aristoteles ini?
Kita pakai contoh-contoh saja, ya.
Di zaman Yunani Kuno dulu, contoh tragic hero kita temui dalam diri Oedipus, seorang raja yang tanpa sepengetahuannya telah membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibunya sendiri. Bukan salah Oedipus jika tragedi tersebut terjadi, namun toh dialah yang harus menanggung beban kutukan dan hukuman.
Di zaman Shakespeare, kita menemukan tragic hero dalam tokoh Hamlet, Macbeth, dan Romeo. Rasanya begitu tidak adil, mereka harus menjadi korban dari situasi yang mendesak dan memojokkan mereka hingga terenggut maut.
Di zaman Klasik, percaya tidak percaya, John Milton menempatkan Lucifer sebagai tragic hero-nya dalam Paradise Lost. Alih-alih memandang Lucifer sebagai sosok yang sepenuhnya jahat, Milton mengetengahkan alasan yang mendasari penghulu malaikat itu akhirnya memberontak terhadap kemahakuasaan Tuhan. Untuk itu, ia dibuang dan dihukum sepanjang keabadian. Dan tampaknya, hingga sekarang dirinya tidak menyesali pilihan itu.
Di zaman kita sekarang, kita menemukan tragic hero dalam begitu banyak sosok antagonis: Darth Vader (Star Wars), Severus Snape (Harry Potter), Davy Jones (Pirates of the Caribbean), Maleficent (Disney), Magneto (X-Men), Loki Laufeyson (Thor), Queen Ravenna (Snow White and The Huntsman), Khan Noonien Singh (Star Trek), Thorin Oakenshield (The Hobbit), dsb.
Sekalipun peran mereka antagonis, tiap-tiap tokoh ini punya alasan yang kuat di balik tindakan mereka, sehingga... sekalipun perbuatan mereka tidak bisa dibenarkan, mereka juga tidak bisa dipersalahkan. Dipandang dari sudut ini, tragic hero/antagonis lebih mewakili realitas hidup dibandingkan protagonis dalam cerita itu sendiri. Akhirnya, mereka lebih banyak menuai simpati pembaca/penonton dibandingkan pemeran utama (protagonis) kisah tersebut.
Dan memang itulah fungsi tragedi. Untuk menyadarkan kita. Untuk mendidik kita. Untuk selalu mengingatkan kita akan pelajaran berharga dalam hidup ini -- dan tidak menyia-nyiakannya.
Canda-tawa dan keceriaan komedi mungkin dapat menghibur dan menggembirakan kita. Namun kekelaman dan kepedihan tragedilah yang menorehkan wejangan dalam hati manusia. Dan itulah yang membantu kita mendewasakan diri.
Comedy tells us that we can't judge a book by its cover.
But tragedy teaches us that we can't judge a book, either by its cover, or the first few chapters, or even after we finish reading the last sentence of the last page.
We can only embrace it.
Masih tentang kecenderungan pop-lit belakangan ini, terutama dalam film-film yang sukses mencetak pemasukan luar biasa di seluruh dunia... adakah yang memperhatikan pergeseran tema di dalamnya?
Tidak seperti zaman tahun 1970-1990-an, sekarang kita tidak terlalu mampu membedakan antara hitam dan putih, baik dan jahat, benar dan salah. Tokoh protagonis tidak sepenuhnya baik, dan tokoh antagonis tidak sepenuhnya jahat. Plot cerita pun tidak lagi klise.
Alih-alih menampilkan sosok villain (penjahat) dalam cerita, penulis (novel/naskah) sekarang lebih memilih menampilkan citra tragic hero dalam diri antagonisnya.
Seorang tragic hero adalah sosok yang awalnya baik, bahkan hebat dan mengagumkan, namun eksistensinya dalam perputaran kehidupan ini mendatangkan ketidakseimbangan semesta. Dan sudah merupakan hukum alam bahwa jika terjadi suatu ketidakseimbangan, maka Nemesis akan berlaku (mungkin kita lebih mudah memahaminya melalui konsep 'karma') untuk menghapuskan penyebab ketidakseimbangan tersebut (yaitu sang tragic hero) agar keseimbangan semesta kembali tercapai.
Agak sulit, ya, memahami penjelasan Mbah Aristoteles ini?
Kita pakai contoh-contoh saja, ya.
Di zaman Yunani Kuno dulu, contoh tragic hero kita temui dalam diri Oedipus, seorang raja yang tanpa sepengetahuannya telah membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibunya sendiri. Bukan salah Oedipus jika tragedi tersebut terjadi, namun toh dialah yang harus menanggung beban kutukan dan hukuman.
Di zaman Shakespeare, kita menemukan tragic hero dalam tokoh Hamlet, Macbeth, dan Romeo. Rasanya begitu tidak adil, mereka harus menjadi korban dari situasi yang mendesak dan memojokkan mereka hingga terenggut maut.
Di zaman Klasik, percaya tidak percaya, John Milton menempatkan Lucifer sebagai tragic hero-nya dalam Paradise Lost. Alih-alih memandang Lucifer sebagai sosok yang sepenuhnya jahat, Milton mengetengahkan alasan yang mendasari penghulu malaikat itu akhirnya memberontak terhadap kemahakuasaan Tuhan. Untuk itu, ia dibuang dan dihukum sepanjang keabadian. Dan tampaknya, hingga sekarang dirinya tidak menyesali pilihan itu.
Di zaman kita sekarang, kita menemukan tragic hero dalam begitu banyak sosok antagonis: Darth Vader (Star Wars), Severus Snape (Harry Potter), Davy Jones (Pirates of the Caribbean), Maleficent (Disney), Magneto (X-Men), Loki Laufeyson (Thor), Queen Ravenna (Snow White and The Huntsman), Khan Noonien Singh (Star Trek), Thorin Oakenshield (The Hobbit), dsb.
Sekalipun peran mereka antagonis, tiap-tiap tokoh ini punya alasan yang kuat di balik tindakan mereka, sehingga... sekalipun perbuatan mereka tidak bisa dibenarkan, mereka juga tidak bisa dipersalahkan. Dipandang dari sudut ini, tragic hero/antagonis lebih mewakili realitas hidup dibandingkan protagonis dalam cerita itu sendiri. Akhirnya, mereka lebih banyak menuai simpati pembaca/penonton dibandingkan pemeran utama (protagonis) kisah tersebut.
Dan memang itulah fungsi tragedi. Untuk menyadarkan kita. Untuk mendidik kita. Untuk selalu mengingatkan kita akan pelajaran berharga dalam hidup ini -- dan tidak menyia-nyiakannya.
Canda-tawa dan keceriaan komedi mungkin dapat menghibur dan menggembirakan kita. Namun kekelaman dan kepedihan tragedilah yang menorehkan wejangan dalam hati manusia. Dan itulah yang membantu kita mendewasakan diri.
Comedy tells us that we can't judge a book by its cover.
But tragedy teaches us that we can't judge a book, either by its cover, or the first few chapters, or even after we finish reading the last sentence of the last page.
We can only embrace it.


Komentar
Posting Komentar