Berlian: (Bukan) Sahabat Terbaik Wanita
(Disalin rekat dari Facebook Post 20 Februari 2016.)
Pernah dengar ungkapan, "Berlian adalah sahabat terbaik wanita"?
(Jika tidak salah ingat, kata-kata itu tercetus dalam salah satu film Marylin Monroe.)
Nah.
Saya tidak suka kata-kata itu.
Membuat saya merasa tidak diakui sebagai wanita saja.
Saya tidak suka berlian.
Saya juga tidak suka emas.
Saya tidak gandrung perhiasan.
Saya memang memakai anting-anting. Tapi itu terbuat dari monel, dan saya membeli dan memakainya semata-mata supaya lubang giwang di telinga saya tidak melekat tertutup.
Saya mengenakan cincin.
Hanya satu.
Dan itu cincin kawin, yang melingkari jari saya sejak belasan tahun lalu hingga nanti menemani saya ke liang kubur.
Saya juga memakai kalung.
Rantainya bukan dari emas. Saya membeli rantai ini dari toko aksesori.
Fungsinya hanya untuk menahan bandul kumala hijau yang menggantung tepat di atas kelenjar timus pada dada saya.
Mendiang ibu saya menyukai kumala hijau. Dan beliau selalu memakaikan batu ini pada saya karena waktu kecil, saya sering sakit-sakitan. Getaran batu ini dipercaya mampu menyeimbangkan kondisi tubuh, menetralkan penyakit, dan meningkatkan imunitas.
Desain bandul ini pun amat sederhana. Hanya sebungkah batu yang diasah mulus dan diikat logam pada ujungnya, mirip bandul-bandul kecubung pada foto di bawah ini. Cantik, kan?
(Kecubung, konon, adalah batu kelahiran saya. Namun entah kenapa, hingga hari ini saya tidak pernah memiliki kuarsa ungu ini. Juga tidak tertarik padanya. Mungkin karena ungu bukan warna favorit saya?)
Saya tipe wanita yang tidak ambil pusing dengan pernak-pernik penghias penampilan. Asalkan cara berbusana saya rapi dan sopan, cukup.
Toh keluarga saya tidak peduli entah saya memakai gelang dari zamrud atau anyaman rotan. Yang penting saya ada di tengah mereka, melimpahkan perhatian dan cinta saya pada mereka.
Toh teman-teman saya tidak peduli entah saya mengenakan cincin safir atau batu alam. Yang penting saya peduli pada mereka, selalu menjadi sahabat yang baik, siap mendengarkan dan siap menyediakan solusi bagi mereka kapan pun dibutuhkan (dan tidak bergosip ini-itu ke sini-sana di belakang punggung mereka).
Kadang saya heran, apa yang menjadi dasar pemikiran yang mengukur feminitas seorang wanita dari perhiasan yang dikenakannya? Bagi saya, itu menyimpang dari esensi. Memang gaya penampilan seseorang mencerminkan karakternya, namun itu sama sekali tidak dapat digunakan sebagai ukuran kualitasnya sebagai seorang wanita.
Tapi, sekali lagi, ini toh hanya pendapat saya pribadi.
Bukan saja sebagai seorang wanita.
Namun juga seorang ibu.
Seorang istri.
Teman.
Sahabat.
Dan pencinta coklat.
*
"Whoever said 'diamond is a girl's best friend', clearly never had a best friend."
Pernah dengar ungkapan, "Berlian adalah sahabat terbaik wanita"?
(Jika tidak salah ingat, kata-kata itu tercetus dalam salah satu film Marylin Monroe.)
Nah.
Saya tidak suka kata-kata itu.
Membuat saya merasa tidak diakui sebagai wanita saja.
Saya tidak suka berlian.
Saya juga tidak suka emas.
Saya tidak gandrung perhiasan.
Saya memang memakai anting-anting. Tapi itu terbuat dari monel, dan saya membeli dan memakainya semata-mata supaya lubang giwang di telinga saya tidak melekat tertutup.
Saya mengenakan cincin.
Hanya satu.
Dan itu cincin kawin, yang melingkari jari saya sejak belasan tahun lalu hingga nanti menemani saya ke liang kubur.
Saya juga memakai kalung.
Rantainya bukan dari emas. Saya membeli rantai ini dari toko aksesori.
Fungsinya hanya untuk menahan bandul kumala hijau yang menggantung tepat di atas kelenjar timus pada dada saya.
Mendiang ibu saya menyukai kumala hijau. Dan beliau selalu memakaikan batu ini pada saya karena waktu kecil, saya sering sakit-sakitan. Getaran batu ini dipercaya mampu menyeimbangkan kondisi tubuh, menetralkan penyakit, dan meningkatkan imunitas.
Desain bandul ini pun amat sederhana. Hanya sebungkah batu yang diasah mulus dan diikat logam pada ujungnya, mirip bandul-bandul kecubung pada foto di bawah ini. Cantik, kan?
(Kecubung, konon, adalah batu kelahiran saya. Namun entah kenapa, hingga hari ini saya tidak pernah memiliki kuarsa ungu ini. Juga tidak tertarik padanya. Mungkin karena ungu bukan warna favorit saya?)
Saya tipe wanita yang tidak ambil pusing dengan pernak-pernik penghias penampilan. Asalkan cara berbusana saya rapi dan sopan, cukup.
Toh keluarga saya tidak peduli entah saya memakai gelang dari zamrud atau anyaman rotan. Yang penting saya ada di tengah mereka, melimpahkan perhatian dan cinta saya pada mereka.
Toh teman-teman saya tidak peduli entah saya mengenakan cincin safir atau batu alam. Yang penting saya peduli pada mereka, selalu menjadi sahabat yang baik, siap mendengarkan dan siap menyediakan solusi bagi mereka kapan pun dibutuhkan (dan tidak bergosip ini-itu ke sini-sana di belakang punggung mereka).
Kadang saya heran, apa yang menjadi dasar pemikiran yang mengukur feminitas seorang wanita dari perhiasan yang dikenakannya? Bagi saya, itu menyimpang dari esensi. Memang gaya penampilan seseorang mencerminkan karakternya, namun itu sama sekali tidak dapat digunakan sebagai ukuran kualitasnya sebagai seorang wanita.
Tapi, sekali lagi, ini toh hanya pendapat saya pribadi.
Bukan saja sebagai seorang wanita.
Namun juga seorang ibu.
Seorang istri.
Teman.
Sahabat.
Dan pencinta coklat.
*
"Whoever said 'diamond is a girl's best friend', clearly never had a best friend."



Komentar
Posting Komentar