Drama Tragedi Putri-putri Disney
(Disalin rekat dari Facebook Post 10 April 2017.)
Setelah Cinderella didaur ulang, Beauty and The Beast sekarang menyusul. Dan, dengar-dengar, Disney akan menggarap 19 judul film adaptasi lainnya.
Hal pertama yang terlintas dalam benak saya adalah...... bocah-bocah cilik di segala penjuru dunia pasti akan memfavoritkan para putri Disney (baru)
itu dan berseru girang, “I wanna be a Disney princess!”
Pengen jadi putri Disney?
Bukannya ada yang salah dengan impian itu, sih. Tapi... di zaman segala sesuatu serba instan ini, saya khawatir bahwa anak-anak itu kemungkinan terbuai oleh petualangan dan kecantikan para putri tersebut, oleh gemerlap keajaiban dan happy ending yang serba indah.
Kira-kira, apakah mereka sempat memikirkan PROSES yang harus ditanggung para putri itu sampai tiba pada titik ‘happily ever after’?
Saya sangsi berat.
Jujur saja, generasi sekarang terjangkiti ‘mentalitas klik’. Semua tersaji di depan mata dan mewujud nyata dengan satu sentuhan tombol. Generasi di bawah saya pun banyak kali tak lagi memikirkan step-by-step; segala-galanya ingin serba cepat, serba instan. Dikira sukses dan kebahagiaan itu hasil keajaiban satu malam (bippity-boppity-boo! Poof! Jadilah putri cantik! Jadilah kaya raya!).
Saya jadi mencemaskan anak-anak lugu yang bermimpi jadi putri itu...
Sadarkah mereka?
HAMPIR SEMUA putri Disney itu berasal dari keluarga yang TIDAK BAHAGIA!
Kebanyakan di antara mereka dibesarkan oleh single parent dan melewati tragedi masa kecil yang tidak tanggung-tanggung!
Coba hitung jumlah putri Disney yang memiliki orang tua lengkap. Saya rasa hanya Merida, Moana, dan Rapunzel. Dan ketiganya pun menghadapi cobaan keluarga yang berat.
Merida selalu bersitegang leher dengan ibunya, dan seandainya keluarga mereka tidak nyaris hancur, mungkin ia tidak akan sempat bertobat dan berdamai dengan ibunya.
Rapunzel diculik sesaat setelah lahir dan dibesarkan tanpa mengetahui siapa kedua orang tua kandungnya.
Moana memang memiliki kedua orang tua yang mencintainya, namun ia kehilangan neneknya... satu-satunya anggota keluarga yang memahami dan menerima dirinya apa adanya. Belum lagi ia harus berjuang mati-matian, mengarungi laut, melawan badai, dan menghadapi monster.
Belle kehilangan ibunya sejak ia bayi. Dari kecil ia berpindah-pindah tempat tinggal dan dilabeli ‘gadis aneh’. Ia dikucilkan masyarakat dan dipandang sinting. Bahkan nyaris dijebloskan rumah sakit jiwa.
Aurora dibuang oleh orang tuanya (meskipun demi kebaikannya sendiri). Ibunya meninggal tanpa sempat ia kenal, dan ayahnya seorang raja yang lalim.
Cinderella pertama-tama kehilangan ibunya, kemudian ayahnya, dan ia terjebak dalam kondisi yang menjadikannya budak ibu tiri dan kakak-kakak tirinya.
Ariel juga kehilangan ibunya saat balita, dan sepanjang masa remajanya ia selalu bermasalah dan bertengkar dengan ayahnya. Akhirnya ia menjual diri pada kuasa kegelapan demi mendapatkan (yang disangkanya) kebebasan.
Elsa dan Anna kehilangan kedua orang tua mereka sekaligus dalam satu hari. Bayangkan!
Belum lagi Jasmine, Snow White, Tiana, dsb.
Yakin pengen jadi putri Disney? Berani bayar harganya di muka?
Ini yang tidak disadari anak-anak zaman sekarang. Mereka terlalu terpikat pada hasil akhir, sampai tidak memahami proses penuh aral rintangan, derita, dan air mata yang harus dilewati untuk mencapainya.
Happily ever after is no magic!
Jadi, sebagai orang tua, semoga kita bisa lebih mampu memberi arahan bagi anak-anak. Ajak mereka memahami lika-liku perjuangan tokoh-tokoh utama dalam film adaptasi dongeng, agar tidak dengan polosnya menyimpulkan bahwa segala sesuatu pasti bisa dicapai tanpa usaha dan pengorbanan. Bisa-bisa mereka shock tertampar realitas hidup ketika dewasa kelak.
Setelah Cinderella didaur ulang, Beauty and The Beast sekarang menyusul. Dan, dengar-dengar, Disney akan menggarap 19 judul film adaptasi lainnya.
Hal pertama yang terlintas dalam benak saya adalah...... bocah-bocah cilik di segala penjuru dunia pasti akan memfavoritkan para putri Disney (baru)
itu dan berseru girang, “I wanna be a Disney princess!”
Pengen jadi putri Disney?
Bukannya ada yang salah dengan impian itu, sih. Tapi... di zaman segala sesuatu serba instan ini, saya khawatir bahwa anak-anak itu kemungkinan terbuai oleh petualangan dan kecantikan para putri tersebut, oleh gemerlap keajaiban dan happy ending yang serba indah.
Kira-kira, apakah mereka sempat memikirkan PROSES yang harus ditanggung para putri itu sampai tiba pada titik ‘happily ever after’?
Saya sangsi berat.
Jujur saja, generasi sekarang terjangkiti ‘mentalitas klik’. Semua tersaji di depan mata dan mewujud nyata dengan satu sentuhan tombol. Generasi di bawah saya pun banyak kali tak lagi memikirkan step-by-step; segala-galanya ingin serba cepat, serba instan. Dikira sukses dan kebahagiaan itu hasil keajaiban satu malam (bippity-boppity-boo! Poof! Jadilah putri cantik! Jadilah kaya raya!).
Saya jadi mencemaskan anak-anak lugu yang bermimpi jadi putri itu...
Sadarkah mereka?
HAMPIR SEMUA putri Disney itu berasal dari keluarga yang TIDAK BAHAGIA!
Kebanyakan di antara mereka dibesarkan oleh single parent dan melewati tragedi masa kecil yang tidak tanggung-tanggung!
Coba hitung jumlah putri Disney yang memiliki orang tua lengkap. Saya rasa hanya Merida, Moana, dan Rapunzel. Dan ketiganya pun menghadapi cobaan keluarga yang berat.
Merida selalu bersitegang leher dengan ibunya, dan seandainya keluarga mereka tidak nyaris hancur, mungkin ia tidak akan sempat bertobat dan berdamai dengan ibunya.
Rapunzel diculik sesaat setelah lahir dan dibesarkan tanpa mengetahui siapa kedua orang tua kandungnya.
Moana memang memiliki kedua orang tua yang mencintainya, namun ia kehilangan neneknya... satu-satunya anggota keluarga yang memahami dan menerima dirinya apa adanya. Belum lagi ia harus berjuang mati-matian, mengarungi laut, melawan badai, dan menghadapi monster.
Belle kehilangan ibunya sejak ia bayi. Dari kecil ia berpindah-pindah tempat tinggal dan dilabeli ‘gadis aneh’. Ia dikucilkan masyarakat dan dipandang sinting. Bahkan nyaris dijebloskan rumah sakit jiwa.
Aurora dibuang oleh orang tuanya (meskipun demi kebaikannya sendiri). Ibunya meninggal tanpa sempat ia kenal, dan ayahnya seorang raja yang lalim.
Cinderella pertama-tama kehilangan ibunya, kemudian ayahnya, dan ia terjebak dalam kondisi yang menjadikannya budak ibu tiri dan kakak-kakak tirinya.
Ariel juga kehilangan ibunya saat balita, dan sepanjang masa remajanya ia selalu bermasalah dan bertengkar dengan ayahnya. Akhirnya ia menjual diri pada kuasa kegelapan demi mendapatkan (yang disangkanya) kebebasan.
Elsa dan Anna kehilangan kedua orang tua mereka sekaligus dalam satu hari. Bayangkan!
Belum lagi Jasmine, Snow White, Tiana, dsb.
Yakin pengen jadi putri Disney? Berani bayar harganya di muka?
Ini yang tidak disadari anak-anak zaman sekarang. Mereka terlalu terpikat pada hasil akhir, sampai tidak memahami proses penuh aral rintangan, derita, dan air mata yang harus dilewati untuk mencapainya.
Happily ever after is no magic!
Jadi, sebagai orang tua, semoga kita bisa lebih mampu memberi arahan bagi anak-anak. Ajak mereka memahami lika-liku perjuangan tokoh-tokoh utama dalam film adaptasi dongeng, agar tidak dengan polosnya menyimpulkan bahwa segala sesuatu pasti bisa dicapai tanpa usaha dan pengorbanan. Bisa-bisa mereka shock tertampar realitas hidup ketika dewasa kelak.



Komentar
Posting Komentar