Kopi Pagi Bersama Mbak Nur: Antara Gelap dan Terang

(Disalin rekat dari Facebook Post 2 Mei 2017.)

“Mbak Nur...”

“Hmm?”

“Saya sedih belakangan ini.”

“Oh, ya? Masa’?”

“Iya, lah. Tapi saya berusaha membagikan yang baik-baik aja ke teman-teman saya. Dengan harapan agar kondisi bergulir ke arah yang lebih baik. Kalo saya ikut arus dan terbawa negatif, nanti situasi gak kunjung membaik.”

“Bagus kalo kamu berpikir gitu.”

“Tapi saya tetap sedih, Mbak. Karena saya tau, situasi negeri ini tidak mungkin membaik dalam waktu singkat. Dan fakta menunjukkan bahwa mereka yang berdiri di pihak kegelapan itu BANYAK. Ditakutkan, jumlahnya malah lebih banyak dari yang berdiri di pihak terang.”

“Sebetulnya, ya, Dik. Mereka yang berpihak pada terang itu jumlahnya juga banyak. Tapi mereka cenderung cinta damai. Tidak suka ribut. Memilih mengalah ketimbang rame.”

“Nah, itu masalahnya, Mbak. Kalo anak-anak terang hanya berdiam diri, masalah tidak akan selesai. Dan anak-anak kegelapan bisa mengambil alih. Lagi.”

“Kamu itu ngomongkan ‘anak-anak terang’ versus ‘anak-anak kegelapan’ seakan yang satu dari surga, yang lain dari neraka. Gimana, toh, kamu ini?”

“Eh? Maaf. Bukan begitu, sih. Maksud saya, mereka yang benar, dan mereka yang salah. Saya kebawa-bawa istilah Star Wars, tadi. Teringat tentang ‘The Dark Side of The Force’ yang berhasil mengambil alih galaksi hingga puluhan tahun.”

“Dik, benar dan salah itu sepenuhnya hak Tuhan untuk menentukan. Sedangkan manusia, semua pasti merasa dirinya benar. Konflik dan peperangan itu terjadi karena kedua belah pihak sama-sama merasa bahwa mereka membela dan mempertahankan kebenaran. Masalahnya, kebenaran manusia itu kan relatif. Makanya, kita juga nggak bisa serta merta menghakimi orang lain. Bukan wewenang kita untuk menentukan vonisnya.”

“Tapi.... meskipun gitu, masa’ nggak ada standarnya, Mbak?”

“Standar sih sudah pasti ada. Hal-hal yang ditulis dan disepakati dalam hukum internasional, misalnya. Itu standar. Hak asasi manusia, itu juga standar. Tapi masalah menimbang benar dan salah dalam situasi yang berjalan bisa sangat ambigu dan membingungkan.”

“Itulah. Semuanya serba tidak hitam-putih. Kadang saya geregetan banget, Mbak. Kenapa Tuhan nggak bisa langsung bersabda aja dari langit dan memutuskan si A yang bener dan si B yang salah? Biar nggak ribuuuuut melulu.”

“Kamu ini lucu. Kalo begitu caranya, dan seisi bumi ini sudah benar semua, itu namanya bukan dunia. Itu surga. Tempat segala sesuatu sudah baik, sudah benar, nggak ada lagi kesalahan, nggak ada lagi yang harus diperbaiki, dan nggak ada lagi SIKLUS maupun PERUBAHAN! Dan kalo Tuhan diminta memerintah langsung atas bumi, ya seisi dunia ini bakal hilang lenyap, Dik. Karena Dia bertakhta dalam keabadian, sedangkan dunia kita ini fana. Dan yang namanya kefanaan, ya sudah pasti selalu ditandai oleh pasang-surut, gelap-terang, benar-salah, perang-damai. Kenapa? Karena itu sudah merupakan hukum perputaran dan dinamika. Tuhan izinkan ada perang, ada konflik, ada pertentangan, karena itulah sarana pengguliran roda kehidupan. Bagaimana mungkin ada perbaikan kalo sebelumnya gak ada kerusakan lebih dulu? Bagaimana mungkin peradaban berkembang ke arah lebih baik jika sebelumnya tidak mengalami kemunduran dan kekacauan? Lihat, tuh, Adam dan Hawa. Mereka nggak tau apa itu dosa, apa itu kematian, apa itu masalah, karena segala sesuatu serba sempurna, serba indah, serba mulia bagi mereka. Itulah masalahnya jika hidup dalam keabadian mahasempurna. Akhirnya keabadian dan kesempurnaan itu tak memiliki makna sama sekali.”

“Hmm.... bener juga, sih. Tapi, lha masa’ kita terus nerima aja kalo ketidakbenaran merajalela? Nggak melawan, gitu?”

“Bukan nggak melawan, tapi melawannya ya jangan dengan cara serupa. Lagian, mereka yang kamu tadi sebut berdiri di pihak kegelapan itu, sebetulnya juga sesama manusia, kan? Sama sederajat dengan kamu di mata-Nya. Tuhan itu sayang sama semua manusia, Dik. Masalahnya, sebagian dari mereka itu kesasar. Atau sakit. Atau rusak cara berpikirnya. Kalo orang sehat, mikirnya genah, dan jalannya lurus, ya nggak mungkin merusuh. Orang yang sehat lahir-batin itu bawaannya MENCIPTA, menjadi berkat bagi sesamanya. Bukan MERUSAK dan mendatangkan kegelisahan bagi sekitarnya. Orang-orang semacam itu sebetulnya patut dikasihani.”

“Lalu, menghadapi mereka itu harus gimana, Mbak?”

“Bukannya sudah jelas ditulis dalam Kitab Suci? Coba kamu buka Matius 5:44-45. Dua ayat itu aja.”

“Sebentar...... itu bagian dari Khotbah di Bukit, ya?”

“Betul. Baca baik-baik, ya.”

“Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

“Apa kurang jelas?”

“.............................”

“Kamu butuh tisu?”

“Nggak, Mbak Nur.”

“Ato air putih?”

“Nggak, nggak, makasih. Saya mau nyari foto kembang lagi aja.”

Komentar

Postingan Populer