Kopi Pagi Bersama Mbak Nur: Jika Bukan Tuhan... (?)
(Disalin rekat dari Facebook Post 21 Mei 2017.)
“Mbak Nur, kenapa, sih, Tuhan itu memberkati orang pada waktu tidur?”
“Maksudmu?”
“Itu, lho, seperti yang ditulis sama Raja Sulaiman dulu: ‘Jika bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jika bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal yang berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah, sebab Tuhan memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.’”
“Hahahaha...... bukan persis seperti itu, maksudnya. Tsk, kamu tau sendiri, Perjanjian Lama tidak bisa ditafsirkan secara letterlijk. Kamu jangan membacanya dengan cara harfiah. Apalagi kitab Mazmur. Isinya kan berupa syair, puisi, dan kidung pujian. Ada banyak bahasa bersayap di situ.”
“Hmm, jadi ‘tidur’ di sini sebetulnya bukan tidur dalam arti jasmani, ya, Mbak?”
“Ya iya, lah! Kalo kamu artikan secara jasmani, nanti malah salah tafsir. Tuhan menyukai dan memberkati orang yang rajin dan tekun. Lha kalo tidur teruuuuus, kan berarti malas. Kemalasan itu salah satu hal yang tidak disenangi Tuhan, bahkan pemalas juga disetarakan dengan pembuat kejahatan.”
“Bener juga. Saya juga pernah membaca ayat yang bunyinya begitu.”
“Nah, jadi kita lihat, ‘tidur’ di sini bukan bersifat fisik. Kalo kamu cermati dari awal, kamu bisa lihat sendiri, ada macam-macam kesibukan dalam mazmur ini. Membangun rumah, mengawal kota, makan roti. Coba kamu pikir, artinya kira-kira apa?”
“Hmm, membangun rumah itu usaha, kan, ya? Bekerja keras? Merintis bisnis, mungkin?”
“Iya, itu bicara tentang usaha manusia, bisa dalam artian ekonomi maupun rumah tangga. Dan itu saling berkaitan juga, sih. Orang bekerja cari nafkah kan demi membiayai keluarga.”
“Lalu, mengawal kota, itu... bicara tentang keamanan?”
“Bener banget. Manusia butuh rasa aman. Secara psikologis, ini kebutuhan kejiwaan yang primer. Kalo nggak ada rasa aman, orang akan jadi gelisah, ato paranoid. Kalo paranoid, gimana bisa hidup dan kerja dengan bener?”
“Oh, iya juga, ya. Terus, makan roti itu berarti kebutuhan fisik, ya, Mbak?”
“Iya, makan-minum itu kebutuhan biologis primer.”
“Jadi, kalo digabungkan semua.... artinya?”
“Hehehe... Kata ‘susah payah’ itu pegang peranan penting di sini, lho. Kamu nggak perhatikan?”
“Eh?! Wah, betul juga! Nyaris kelewatan!”
“Jadi, maksudnya begini. Seringkali manusia itu berusaha keras untuk mewujudkan hal-hal positif dalam hidupnya. Berusaha itu positif. Keamanan itu positif. Menafkahi keluarga itu positif. Memenuhi segala kebutuhan lahir-batin itu positif. Masalahnya, banyak kali mereka melakukannya dengan pikiran yang negatif! Bekerja, misalnya, dilakukan dengan berkeluh kesah. Sebentar-sebentar mengeluhkan persaingan di tempat kerjanya keras. Boss-nya tukang perintah. Kantornya jauh dari rumah. Macet. Kerjaan sepi, pelanggan nggak setia, inflasi bikin merugi. Bla-bla-bla.”
“Hahaha.... iya, saya paham!”
“Jadi, energi mereka tersedot ke mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Bukan bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Kelihatan negatifnya, kan? Gimana kerjaannya bisa membuahkan hasil yang positif, kalo gitu?”
“Berarti, hal yang positif, kalo dikerjakan dengan pikiran dan perasaan yang negatif, hasilnya juga akan terbawa negatif, gitu, Mbak?”
“Nah, ngerti, kan, kamu. Begitu juga dengan keamanan. Banyak orang berwaspada dan mengamankan diri dan keluarganya, tapi dengan berdasarkan rasa khawatir. Takut. Cemas. Bangun tembok keliling rumah setinggi dinding penjara karena takut kemalingan. Lah? Kecemasannya itu justru mengundang maling berusaha membobol rumahnya karena mereka merasa tertantang. Bisa jadi, kan? Mereka penasaran dengan isi rumah itu karena pengamanannya terlalu... lebay.”
“Waduh! Saya baru terpikir sekarang. Ada betulnya juga, tuh.”
“Nah, orang yang hidup dengan pola pikir negatif begini, nggak akan bisa menikmati berkat Tuhan. Dia bekerja keras dari pagi hingga larut malam, tapi segala hal yang dicapainya tidak bisa memberinya kebahagiaan. Bahkan berkat fisik dan kecukupan sandang-pangan pun tidak bisa disyukurinya. Dia selalu merasa kurang dan khawatir ini-itu. Kasihan, kan?”
“He-eh, memprihatinkan, memang. Lalu, hubungannya dengan ‘tidur’ tadi, Mbak?”
“Nah, ini dia. Kuncinya ada di sini. Tuhan memberkati orang-orang yang pikirannya ‘tidur’. Kamu ngerti, kan, kalo orang tidur, seperti apa? Tenang. Damai. Tidak disibukkan oleh hiruk-pikuk dunia. Tidak mengkhawatirkan apa pun. Dalam kondisi tidur, frekuensi pikiran kita menjadi dekat dengan frekuensi Tuhan. Bukannya Dia itu sumber kedamaian dan ketenangan?”
“Oh! Saya paham! Saya paham! Itu sebabnya, Tuhan seringkali membisiki manusia dalam kondisi tidur!”
“Hahaha... karena itulah, Tuhan seringkali bicara pada kita melalui mimpi. Dan kita hanya bisa bermimpi jika kita tidur! Segalanya tenang, hening, damai. Pikiran kita tidak lompat-lompat dan lari-lari sana-sini karena sibuk dan khawatir.”
“Tapi, kita kan tidak mungkin tidur sepanjang hari agar tetap damai dan dekat dengan Tuhan, Mbak?”
“Nah, seperti yang kita sudah bicarakan tadi, ‘tidur’ itu bukan bersifat fisik di sini. Artinya, sekalipun kita sedang bekerja ato bepergian, di mana pun kita berada, apa pun yang kita lakukan, batin dan pikiran kita tetap dalam frekuensi ‘tidur’. Tetap seirama dengan kedamaian dan ketenangan Tuhan. Tetap positif. Tetap bersandar sepenuhnya kepada Dia. Tetap menyatu dengan-Nya. Hanya dengan begitulah, berkat-berkat yang Dia curahkan dalam hidup kita ini bisa seutuhnya kita nikmati dan syukuri. Dan lebih dari itu, orang-orang semacam inilah yang dicintai Tuhan.”
“Ah, saya mengerti sepenuhnya, sekarang. Makasih, lho, Mbak Nur.”
“Sama-sama, Dik. Yuk, sekarang kita sarapan dulu!”
“Mbak Nur, kenapa, sih, Tuhan itu memberkati orang pada waktu tidur?”
“Maksudmu?”
“Itu, lho, seperti yang ditulis sama Raja Sulaiman dulu: ‘Jika bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jika bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal yang berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah, sebab Tuhan memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.’”
“Hahahaha...... bukan persis seperti itu, maksudnya. Tsk, kamu tau sendiri, Perjanjian Lama tidak bisa ditafsirkan secara letterlijk. Kamu jangan membacanya dengan cara harfiah. Apalagi kitab Mazmur. Isinya kan berupa syair, puisi, dan kidung pujian. Ada banyak bahasa bersayap di situ.”
“Hmm, jadi ‘tidur’ di sini sebetulnya bukan tidur dalam arti jasmani, ya, Mbak?”
“Ya iya, lah! Kalo kamu artikan secara jasmani, nanti malah salah tafsir. Tuhan menyukai dan memberkati orang yang rajin dan tekun. Lha kalo tidur teruuuuus, kan berarti malas. Kemalasan itu salah satu hal yang tidak disenangi Tuhan, bahkan pemalas juga disetarakan dengan pembuat kejahatan.”
“Bener juga. Saya juga pernah membaca ayat yang bunyinya begitu.”
“Nah, jadi kita lihat, ‘tidur’ di sini bukan bersifat fisik. Kalo kamu cermati dari awal, kamu bisa lihat sendiri, ada macam-macam kesibukan dalam mazmur ini. Membangun rumah, mengawal kota, makan roti. Coba kamu pikir, artinya kira-kira apa?”
“Hmm, membangun rumah itu usaha, kan, ya? Bekerja keras? Merintis bisnis, mungkin?”
“Iya, itu bicara tentang usaha manusia, bisa dalam artian ekonomi maupun rumah tangga. Dan itu saling berkaitan juga, sih. Orang bekerja cari nafkah kan demi membiayai keluarga.”
“Lalu, mengawal kota, itu... bicara tentang keamanan?”
“Bener banget. Manusia butuh rasa aman. Secara psikologis, ini kebutuhan kejiwaan yang primer. Kalo nggak ada rasa aman, orang akan jadi gelisah, ato paranoid. Kalo paranoid, gimana bisa hidup dan kerja dengan bener?”
“Oh, iya juga, ya. Terus, makan roti itu berarti kebutuhan fisik, ya, Mbak?”
“Iya, makan-minum itu kebutuhan biologis primer.”
“Jadi, kalo digabungkan semua.... artinya?”
“Hehehe... Kata ‘susah payah’ itu pegang peranan penting di sini, lho. Kamu nggak perhatikan?”
“Eh?! Wah, betul juga! Nyaris kelewatan!”
“Jadi, maksudnya begini. Seringkali manusia itu berusaha keras untuk mewujudkan hal-hal positif dalam hidupnya. Berusaha itu positif. Keamanan itu positif. Menafkahi keluarga itu positif. Memenuhi segala kebutuhan lahir-batin itu positif. Masalahnya, banyak kali mereka melakukannya dengan pikiran yang negatif! Bekerja, misalnya, dilakukan dengan berkeluh kesah. Sebentar-sebentar mengeluhkan persaingan di tempat kerjanya keras. Boss-nya tukang perintah. Kantornya jauh dari rumah. Macet. Kerjaan sepi, pelanggan nggak setia, inflasi bikin merugi. Bla-bla-bla.”
“Hahaha.... iya, saya paham!”
“Jadi, energi mereka tersedot ke mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Bukan bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Kelihatan negatifnya, kan? Gimana kerjaannya bisa membuahkan hasil yang positif, kalo gitu?”
“Berarti, hal yang positif, kalo dikerjakan dengan pikiran dan perasaan yang negatif, hasilnya juga akan terbawa negatif, gitu, Mbak?”
“Nah, ngerti, kan, kamu. Begitu juga dengan keamanan. Banyak orang berwaspada dan mengamankan diri dan keluarganya, tapi dengan berdasarkan rasa khawatir. Takut. Cemas. Bangun tembok keliling rumah setinggi dinding penjara karena takut kemalingan. Lah? Kecemasannya itu justru mengundang maling berusaha membobol rumahnya karena mereka merasa tertantang. Bisa jadi, kan? Mereka penasaran dengan isi rumah itu karena pengamanannya terlalu... lebay.”
“Waduh! Saya baru terpikir sekarang. Ada betulnya juga, tuh.”
“Nah, orang yang hidup dengan pola pikir negatif begini, nggak akan bisa menikmati berkat Tuhan. Dia bekerja keras dari pagi hingga larut malam, tapi segala hal yang dicapainya tidak bisa memberinya kebahagiaan. Bahkan berkat fisik dan kecukupan sandang-pangan pun tidak bisa disyukurinya. Dia selalu merasa kurang dan khawatir ini-itu. Kasihan, kan?”
“He-eh, memprihatinkan, memang. Lalu, hubungannya dengan ‘tidur’ tadi, Mbak?”
“Nah, ini dia. Kuncinya ada di sini. Tuhan memberkati orang-orang yang pikirannya ‘tidur’. Kamu ngerti, kan, kalo orang tidur, seperti apa? Tenang. Damai. Tidak disibukkan oleh hiruk-pikuk dunia. Tidak mengkhawatirkan apa pun. Dalam kondisi tidur, frekuensi pikiran kita menjadi dekat dengan frekuensi Tuhan. Bukannya Dia itu sumber kedamaian dan ketenangan?”
“Oh! Saya paham! Saya paham! Itu sebabnya, Tuhan seringkali membisiki manusia dalam kondisi tidur!”
“Hahaha... karena itulah, Tuhan seringkali bicara pada kita melalui mimpi. Dan kita hanya bisa bermimpi jika kita tidur! Segalanya tenang, hening, damai. Pikiran kita tidak lompat-lompat dan lari-lari sana-sini karena sibuk dan khawatir.”
“Tapi, kita kan tidak mungkin tidur sepanjang hari agar tetap damai dan dekat dengan Tuhan, Mbak?”
“Nah, seperti yang kita sudah bicarakan tadi, ‘tidur’ itu bukan bersifat fisik di sini. Artinya, sekalipun kita sedang bekerja ato bepergian, di mana pun kita berada, apa pun yang kita lakukan, batin dan pikiran kita tetap dalam frekuensi ‘tidur’. Tetap seirama dengan kedamaian dan ketenangan Tuhan. Tetap positif. Tetap bersandar sepenuhnya kepada Dia. Tetap menyatu dengan-Nya. Hanya dengan begitulah, berkat-berkat yang Dia curahkan dalam hidup kita ini bisa seutuhnya kita nikmati dan syukuri. Dan lebih dari itu, orang-orang semacam inilah yang dicintai Tuhan.”
“Ah, saya mengerti sepenuhnya, sekarang. Makasih, lho, Mbak Nur.”
“Sama-sama, Dik. Yuk, sekarang kita sarapan dulu!”



Komentar
Posting Komentar