Reaktif vs. Proaktif
(Disalin rekat dari Facebook Post 9 November 2016.)
"Three ways to fail at everything in life," ujar poster yang di-share mantan teman sekolah saya, "(1) Blame all your problems on others, (2) Complain about everything, and (3) Never be grateful."
Terkikik saya membacanya.
Sekaligus teringat wejangan almarhum Dr. Stephen Covey, penulis "7 Habits of Highly Effective People." Ketiga poin di atas merupakan ciri-ciri orang reaktif.
Orang reaktif itu:
(1) Selalu mempersalahkan orang lain, peristiwa, keadaan, atau situasi di sekelilingnya, atau apa pun, lah, demi membenarkan diri sendiri. Pokoknya, dirinyalah yang paling benar, tidak bisa dipersalahkan atas kekeliruannya (baik itu dalam bertindak, berbicara, maupun berpikir). Introspeksi sama sekali tidak tercantum dalam kamus hidupnya. Repot, deh, berhadapan dengan kaum "the king/queen can do no wrong" begini. Selogis dan seobjektif apa pun kita berusaha menyadarkannya, dengan bebalnya dia akan terus menampik, berkelit, dan menentang nasihat yang waras.
(2) Selalu mengeluhkan segala sesuatu. Semua dipandang negatif. Tidak ada yang benar di matanya. Orang reaktif senantiasa memandang dunia dan lingkungan sekitarnya lewat kacamata negatif dan cenderung pesimis. Serba salah, berhubungan dengan orang semacam ini. Kita berbuat begini, salah. Begitu, juga salah. Tidak berbuat apa-apa, tetap dipandangnya salah. Bikin frustrasi dan menguras tenaga positif saja.
(3) Tidak tahu mensyukuri hidup. Dia selalu menganggap dirinya dirugikan oleh orang lain, lingkungan, atau keadaan. Dia tak henti-hentinya merasa kurang. Entah kurang bahagia, lah. Kurang sejahtera, lah. Kurang diperhatikan oleh orang tua/pasangan/keluarga/ guru/dosen,
dll., lah. Pendeknya, ada saja yang membuatnya merasa kurang ini,
kurang itu, kemudian bawaannya cemburu pada orang lain yang memiliki ini
dan itu yang diidamkannya. Dan, yang namanya cemburu, gampang sekali
terjebak pada membenci orang lain yang dipandangnya 'lebih' dibandingkan
dirinya, kemudian... yep! Menjelek-jelekkan orang yang tidak ada salah
apa-apa terhadap dirinya itu.
*
Ini sekadar pengingat, agar kita jangan jadi orang yang reaktif. Kehidupan orang reaktif bagaikan sumur negativitas tiada akhir. Semakin diselami, semakin tenggelam kita dalam lumpur pesimisme.
Jadilah lawan katanya, yaitu orang proaktif.
Negeri ini butuh lebih banyak orang yang:
(1) Rajin introspeksi dan terbuka terhadap kritik, demi mengembangkan diri ke arah yang lebih baik,
(2) Tidak suka mengeluh, apalagi menyebarluaskan gelombang negatif dan pesimisme sehingga mencemari aura dan pikiran orang-orang di sekelilingnya, dan
(3) Selalu bersyukur atas segala kebaikan dalam hidup ini, sekaligus ikut senang jika orang lain diberkati lebih dari dirinya.
*
Nah, segitu dulu, pembahasan tentang reaktif vs. proaktif.
Oh, iya... jangan lupa, energi proaktif itu juga menular, lho. Baik itu lewat musik, aktivitas, doa, dan berbagai post yang menyejukkan. Selalu ada cara untuk menyebarkan kebaikan dan menghindari keburukan, jika kita mau berusaha.
Untuk mengusir kegelapan, kita tidak perlu harus menjadi api yang membara berkobar-kobar dan melalap ke kiri dan kanan. Cukup jadilah lilin yang menyala di tengah malam hingga fajar menjelang.
"Three ways to fail at everything in life," ujar poster yang di-share mantan teman sekolah saya, "(1) Blame all your problems on others, (2) Complain about everything, and (3) Never be grateful."
Terkikik saya membacanya.
Sekaligus teringat wejangan almarhum Dr. Stephen Covey, penulis "7 Habits of Highly Effective People." Ketiga poin di atas merupakan ciri-ciri orang reaktif.
Orang reaktif itu:
(1) Selalu mempersalahkan orang lain, peristiwa, keadaan, atau situasi di sekelilingnya, atau apa pun, lah, demi membenarkan diri sendiri. Pokoknya, dirinyalah yang paling benar, tidak bisa dipersalahkan atas kekeliruannya (baik itu dalam bertindak, berbicara, maupun berpikir). Introspeksi sama sekali tidak tercantum dalam kamus hidupnya. Repot, deh, berhadapan dengan kaum "the king/queen can do no wrong" begini. Selogis dan seobjektif apa pun kita berusaha menyadarkannya, dengan bebalnya dia akan terus menampik, berkelit, dan menentang nasihat yang waras.
(2) Selalu mengeluhkan segala sesuatu. Semua dipandang negatif. Tidak ada yang benar di matanya. Orang reaktif senantiasa memandang dunia dan lingkungan sekitarnya lewat kacamata negatif dan cenderung pesimis. Serba salah, berhubungan dengan orang semacam ini. Kita berbuat begini, salah. Begitu, juga salah. Tidak berbuat apa-apa, tetap dipandangnya salah. Bikin frustrasi dan menguras tenaga positif saja.
(3) Tidak tahu mensyukuri hidup. Dia selalu menganggap dirinya dirugikan oleh orang lain, lingkungan, atau keadaan. Dia tak henti-hentinya merasa kurang. Entah kurang bahagia, lah. Kurang sejahtera, lah. Kurang diperhatikan oleh orang tua/pasangan/keluarga/
*
Ini sekadar pengingat, agar kita jangan jadi orang yang reaktif. Kehidupan orang reaktif bagaikan sumur negativitas tiada akhir. Semakin diselami, semakin tenggelam kita dalam lumpur pesimisme.
Jadilah lawan katanya, yaitu orang proaktif.
Negeri ini butuh lebih banyak orang yang:
(1) Rajin introspeksi dan terbuka terhadap kritik, demi mengembangkan diri ke arah yang lebih baik,
(2) Tidak suka mengeluh, apalagi menyebarluaskan gelombang negatif dan pesimisme sehingga mencemari aura dan pikiran orang-orang di sekelilingnya, dan
(3) Selalu bersyukur atas segala kebaikan dalam hidup ini, sekaligus ikut senang jika orang lain diberkati lebih dari dirinya.
*
Nah, segitu dulu, pembahasan tentang reaktif vs. proaktif.
Oh, iya... jangan lupa, energi proaktif itu juga menular, lho. Baik itu lewat musik, aktivitas, doa, dan berbagai post yang menyejukkan. Selalu ada cara untuk menyebarkan kebaikan dan menghindari keburukan, jika kita mau berusaha.
Untuk mengusir kegelapan, kita tidak perlu harus menjadi api yang membara berkobar-kobar dan melalap ke kiri dan kanan. Cukup jadilah lilin yang menyala di tengah malam hingga fajar menjelang.



Komentar
Posting Komentar