Secangkir Kedamaian di Dapur Mbak Nur

(Disalin rekat dari Facebook Post 17 Mei 2017.)

“Puyeng saya baca newsfeed ini, Mbak Nur. Kepala sampai rasanya berdegung. Vibrasinya kacau banget. Huufftt..... mending buka-buka laman dari Italia aja. Foto-fotonya selalu adem, menyejukkan jiwa.”

“Kamu mau teh?”

“Mau, deh. Gak pake gula. Hei, tekonya lucu! Dari tanah liat, ya?”

“Mau dari tanah liat, keramik, ato stainless steel, kek, yang penting itu isinya, Dik. Manusia pun begitu. Sebetulnya, tubuh ini sekadar wadah. Dalam wadah ini, kita menyimpan perbendaharaan pikiran dan perasaan. Entah negatif, entah positif. Itu nanti tertuangkan dalam kata-kata dan perbuatan.”

“Hmm, iya juga, ya. Dari perkataan dan perbuatan kita, akan kelihatan, apa yang tersimpan dalam hati dan pikiran. Newsfeed ini seperti mencampuradukkan semuanya dalam satu baskom besar. Bikin batin eneg.”

“Nggak yang niatnya baik, nggak yang niatnya buruk. Akhirnya sama-sama bikin distorsi.”

“Eh? Tapi mereka yang niatnya baik kan memang harus bersuara menuntut perubahan ke arah yang lebih baik, Mbak?”

“Iya, sih. Tapi... bukannya Mbak mau mendiskreditkan mereka, ya. Tapi coba, deh, kamu rasakan. Tangkap getaran tulisan mereka dengan batinmu. Adakah vibrasi negatif di situ?”

“Hmm... bener juga. Ada sindir-sindiran di sana. Ada kekhawatiran juga. Ada... semacam... polaritas. Kami yang benar, kamu yang salah. Terlepas dari kenyataan bahwa yang salah itu memang bener-bener salah.”

“Ini semua bersumber dari pikiran yang bergejolak tak henti-henti. Coba pikir, bagaimana mungkin kita bisa menciptakan kedamaian dari batin yang bergejolak? Hati dan pikiran kita sendiri tidak tenang. Bagaimana bisa membawa ketenangan bagi dunia?”

“Mungkin mereka berpikir, bahwa ketenangan itu akan tercipta sesudah kubu yang lain mengakui bahwa merekalah yang benar, sehingga akhirnya kita semua bisa sepakat, seiya sekata.”

“No, no, no... itu bukan kesepakatan, Dik. Itu penaklukan. Dan itu tidak akan mengantarkan kita pada kedamaian.”

“Tapi, Mbak, bukannya damai itu memang baru bisa tercapai setelah perang usai?”

“Dik, damai itu win-win solution. Adakah perang yang menghasilkan win-win solution?”

“Euh.... kalo dipikir lagi... nggak, sih. Entah win-lose, atau dua-duanya lose.”

“Yang sejarah catat sebagai kedamaian setelah perang itu sebetulnya bukan kedamaian sejati. Itu suatu periode yang menyakitkan, sebenarnya. Ada luka-luka yang harus dibalut di sana. Ada trauma yang tersisa hingga puluhan tahun. Ada kedukaan, ada kehilangan, ada perih dan dendam terpendam.”

“Tapi... bagaimana jika kita sudah telanjur tercebur di dalamnya, Mbak? Memangnya Mbak ingin mengatakan sebaiknya kita rekonsiliasi aja?”

“Hehehe... istilah 'rekonsiliasi' terlalu sarat ditunggangi kepentingan dan strategi manusia, hari-hari ini. Terlalu... hmm, politis.”

“Nah, lalu? Bagaimana?”

“Anggap saja teh di cangkir ini ‘kedamaian’, ya, Dik. Untuk mendapatkan secangkir kedamaian, bagaimana caranya?”

“Hmm, caranya... teko ini sendiri harus berisi ‘kedamaian’, begitu?”

“Betul. Kedamaian yang murni. Nggak pake gula, seperti katamu tadi.”

“Wah, tapi, Mbak... mana ada manusia yang batinnya 100% damai? Sudah bawaan manusia selalu khawatir ini-itu, tidak suka ini-itu, sibuk ini-itu.”

“Memang. Lagipula, kedamaian bukan sesuatu yang berasal dari bumi, kan. Kamu harus minta batinmu dipenuhkan damai, dari Tuhan. Baru sesudah itu kamu bisa membagikan damai bagi yang lain.”

“Kedengarannya terlalu idealis-utopis, untuk dunia masa kini.”

“Ya karena pikiranmu belakangan ini lagi skeptis, Dik. Keracunan. Dan ada banyak orang skeptis hari-hari ini. Makanya, kalo nggak dibangunkan dari sekarang, sampai kapan pun mereka akan tetap tertidur dalam pikiran skeptis itu.”

“Jadi, pikiran dan batin saya harus ditenangkan, dimurnikan, dan diisi dengan kedamaian dulu, Mbak? Hmm, nggak mudah. Tapi kalo nggak dicoba, kita toh juga nggak bisa tau hasilnya.”

“Gampang aja, Dik. Pikirlah begini: nggak ada ruginya mengisi hati dan pikiran dengan kedamaian. Kamu justru lebih banyak rugi dengan mencemaskan hal-hal yang tidak mampu kamu kendalikan. Iya, kan?”

“Ah... Iya juga, sih, Mbak.”

“Jadi? Yuk, kita seruput secangkir kedamaian dulu.”

Komentar

Postingan Populer