Teh, Racun, dan Teko

(Disalin rekat dari Facebook Post 20 Mei 2017.)

Sekarang, saya mulai paham maksud Mbak Nur beberapa hari lalu.
Manusia memang ibarat teko teh.

Mereka yang penuh kedamaian, menuangkan kedamaian bagi sesama.
Mereka yang berlimpah sukacita, menuangkan sukacita juga bagi sekelilingnya.
Dan mereka yang sarat hal-hal luhur, menuangkan berbagai kebajikan bagi semua orang.

Sayangnya, tidak semua orang seperti itu.
Sebagian manusia bagaikan teko yang kosong. Apa yang dapat diberikannya kepada lingkungan sekitarnya, jika dirinya sendiri kekurangan?

Namun, mereka dalam kondisi kosong ini masih mending. Satu-satunya hal yang perlu mereka lakukan hanyalah memohon pada Yang Kuasa untuk mengisi mereka dengan hal-hal baik, agar dapat menjadi saluran kebaikan juga. Pertama-tama bagi keluarga mereka pribadi, dan kemudian bagi sesama.

Tetapi yang paling malang adalah mereka yang penuh dengan amarah, kebencian, kecemburuan, hawa nafsu, kesombongan, dan kebohongan.
Ah, hanya racun yang dapat mereka bagikan kepada sesamanya!

Itu sebabnya, kita harus selalu mendoakan teko-teko teh sarat keburukan dan kekotoran ini.

Mintalah pada Tuhan agar Dia membuang isi teko-teko yang kotor itu. Menggosoknya dengan garam, soda, dan air panas. Membilasnya dengan kemurnian. Kemudian menjerangnya dalam air mendidih agar segala kuman yang masih tertinggal di dalamnya bersih tuntas tak berbekas. Baru setelah itu, mereka dapat digunakan kembali – kali ini, untuk kebaikan.

Lagipula, mereka juga teko teh, sama seperti kita — dan masa pakai mereka pun masih panjang, bukan?

Komentar

Postingan Populer